Ceramah Panjang Langdon tentang Freemasons
—Anwar Holid
Bentang mempertaruhkan rekor nilai kontrak yang pernah mereka buat untuk bisa mendapatkan hak terjemahan The Lost Symbol (707 hal.) karya Dan Brown ke dalam edisi Indonesia. Salah satu imprint kelompok Mizan ini menerbitkan novel yang penjualannya memecahkan rekor dalam sejarah pasar novel dewasa. Edisi Inggris The Lost Symbol diproduksi sebanyak 6,5 juta kopi untuk cetakan pertama—5 juta untuk pasar Amerika Utara, 1,5 juta untuk Inggris. Reuters melaporkan bahwa jaringan toko buku Barnes & Noble membukukan pembelian tertinggi untuk penjualan hari pertama sebuah judul buku, baik di toko maupun lewat online. Begitu terbit pada 15 September 2009, novel itu terjual lebih dari sejuta kopi di hari pertama. Jutaan penggemar Brown sudah beberapa tahun lalu menanti-nanti The Lost Symbol sejak dia dijadwalkan merilis novel baru tahun 2007 yang berjudul tentatif “The Solomon Key.”
Di Indonesia The Lost Symbol terbit dengan persiapan matang. Untuk menggoda publik, penerbit mengadakan lomba komentar bertema lomba “Mengapa Saya Ingin Membaca The Lost Symbol” berhadiah novel tersebut beserta gimmick berupa gantungan kunci, tali handphone, dan kalender 2010 The Lost Symbol berbentuk piramida. Lebih serius dari itu, terasa betapa penerbit mengerjakan proses penerbitannya dengan sungguh-sungguh. Untuk buku setebal lebih dari satu rim, penyuntingan novel ini boleh dibilang sempurna. Tingkat keterbacaan buku ini tinggi dan boleh dibilang bersih dari noda salah eja. (Seingat saya hanya merasa menemukan satu salah eja di bagian akhir novel itu—yaitu ‘mersusuar’—tapi tak langsung menandainya, jadi ketika memeriksa lagi malah gagal menemukan.) Kualitas editan dan terjemahan novel ini hebat. Dari segi penyajian, sisi ini patut dihargai. Edisi Indonesia novel ini terbit pada 25 Januari 2010. Untuk menambah bobot, penerbit meminta endorsement dari penulis sekaliber Radhar Panca Dahana, Tasaro, dan E.S. Ito.
Saya sendiri mula-mula bereaksi sengit begitu tahu bahwa novel ini akan diterbitkan oleh kelompok Mizan. Namun komentar sejumlah orang, disusul press release Penerbit Mizan: Mengapa Bentang Pustaka (Mizan Grup) Menerbitkan The LOST SYMBOL?, akhirnya membuat saya maklum.
Kisah The Lost Symbol fokus pada gerakan Freemasonry, berlangsung kira-kira lebih dari 12 jam dalam kehidupan Robert Langdon. Mulai dari sore hingga fajar hari berikutnya, Langdon kebut-kebutan dengan penjahat gila yang terobsesi oleh janji religius untuk menjadi manusia-tuhan (demigod), ditambah intimidasi CIA yang curiga atas aktivitas dan keterlibatan Langdon. Dan Brown mengintensifkan ketegangan permainan berbahaya ala anjing dan kucing di antara ketiga pihak itu di sepanjang halaman, diselang-selingi jejalan berbagai informasi, perdebatan tentang iman, tafsir terhadap karya seni dan kekayaan arsitektur, teori konspirasi, studi ilmu noetik, dan tentu saja: pemecahan simbol rahasia.
Robert Langdon secara mengejutkan mentah-mentah tertipu oleh undangan dari Peter Solomon, mentor yang ia hormati, berasal dari keluarga aristokrat Amerika Serikat, sekaligus kepala Institut Smithsonian dan seorang patron Mason dengan pangkat derajat 33—derajat tertinggi di kelompok tersebut. Awalnya Langdon antusias memenuhi permintaan Solomon untuk berceramah di institusinya. Namun begitu sampai di Capitol, ia malah “dipancing” dengan potongan tangan kanan Solomon dengan tuntutan agar Langdon memecahkan misteri kuno sebagai tebusan atas penculikan Solomon. Berbekal telunjuk yang mengarah pada lukisan fresko The Apotheosis of Washington, cincin Freemason, dan sebuah kotak tua titipan Solomon, Langdon dipaksa mengerahkan seluruh kecanggihan intelektualitasnya untuk menyelamatkan Solomon. Rupanya, informasi Langdon dan tuntutan penjahat itu menimbulkan kecurigaan pihak CIA, yang menganggap bahwa pemecahan misteri itu terkait dengan “keamanan nasional” pemerintahan Amerika Serikat. CIA yakin bahwa Langdon justru terlibat dalam gerakan makar, dan terus-menerus mencurigainya sebagai bagian dari teorisme agama.
Pemecahan misteri ini begitu rumit, penuh simbolik, sepotong-potong, berlatar belakang mitos di perkumpulan terkemuka yang melibatkan konspirasi sekte agama, ritual kuno, dan ambisi kekuasaan. Bagi orang yang tertarik pada perbincangan simbol agama, tafsir-tafsir implisit dalam kitab suci, bahwa hampir semua wahyu Tuhan itu pasti melangit lagi bersayap—dalam kasus ini terutama berasal dari Alkitab—dan makna penciptaan manusia, novel ini jelas mampu memenuhi kepenasaran mereka atas berbagai isu utama agama, misalnya siapakah Tuhan itu, mengapa dia kadang-kadang memaksa manusia melakukan hal-hal irasional? Apa gunanya iman, apa ia bisa menyelamatkan manusia dan kehidupannya? Apa isi utama kitab suci agama-agama? Kenapa ada banyak hal musykil terjadi di dalamnya? Dengan menjalankan prosesi dan ritual tertentu, penjahat dalam novel ini terobsesi oleh keyakinan bahwa manusia bisa mencapai derajat mirip tuhan, apalagi dia secara bertahap merasa mendapat pencerahan. Dia percaya kunci perubahan derajat manusia itu disembunyikan oleh kaum Freemasons, dan karena Peter Solomon menolak membuka rahasia, dia memaksa agar Langdon bekerja untuk dirinya. Puncaknya dengan membalikkan skema ritual pengorbanan Ibrahim mengorbankan anaknya.
Tertekan oleh pengawasan dan interogasi Inoue Sato—Direktur Office of Security CIA yang langsung mengepalai operasi pencegahan upaya makar terhadap pemerintahan—Langdon terpaksa bercerita panjang lebar tentang Freemasons dan pengaruhnya pada visi di awal pendirian Amerika Serikat. Para bapak bangsa negeri itu memang menganut Freemasons, antara lain George Washington, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, dan James Madison. Meski boleh dibilang cukup terbuka, gerakan Freemasonry tetaplah terasa misterius. Di zaman itu, Freemasons berpengaruh besar terhadap pandangan dunia mereka, dan nilai-nilai itu mereka coba warisan ke generasi selanjutnya, meski lama-lama dipenuhi mitos misterius. Gale Encyclopedia of the Unusual and Unexplained memasukkan Freemasonry dalam entri Secret Societies and Conspiracies. Salah satunya ialah anggapan bahwa mereka menyimpan rahasia terhadap keberadaan Sang Mahatinggi. Organisasi perkawanan ini dahulu digjaya karena anggotanya orang terkemuka dan berpengaruh, namun sejak 1826-an keanggotaan dan citranya mengalami kemunduran drastik dipicu oleh kontroversi internal atas kematian William Morgan, seorang Mason yang berniat membeberkan rahasia Freemason ke dunia. Dia mati di tangan anggota Mason sendiri.
“Yang bikin excited calon pembaca Indonesia mungkin antusiasme mereka terhadap Amerika Serikat yang selalu dikaitkan dengan kekuatan ‘phantom power’ à la Freemasons atau zionisme. Dengan baca buku ini publik berharap bisa mendapat jawabannya,” demikian komentar Nuning Hallett, seorang warga Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Dia mendapat novel itu sehari sebelum peluncuran di AS.
Dengan cepat Brown membuka selubung ambisi kekuasaan dengan ilusi keabadian dan pencerahan sebagaimana janji-janji agama. Lawan tangguh Langdon ialah orang telah mengalami tiga fase kehidupan, itu membuatnya jadi begitu kuat, penuh perhitungan, dengan dendam tanpa ampun. Di masa kecil, orang ini awalnya bergelimang kenikmatan duniawi, tapi perjalanan hidup mengubahnya mampu mengalahkan hasrat duniawi maupun seksual, sampai mengalami epifani bahwa dirinya bisa mencapai kesempurnaan. Dia mempelajari cara melakukannya, hanya sedikit terhadang oleh rahasia yang disembunyikan begitu rapat dan berlapis-lapis oleh persaudaraan Mason. Kali ini misterinya terasa lebih sulit bagi Langdon karena mereka menyembunyikan kunci simbol di dalam simbol
Lepas dari kejar-kejaran dengan waktu dan ancaman baik dari sang lawan atau CIA, insiden itu sedikit-banyak bersinggungan dengan ilmu noetik, studi mengenai pikiran manusia dan upaya riset teknologi apa ruh bisa diteliti secara fisik. Di sini Langdon kembali beradu cakap panjang lebar dengan Katherine, eksponen utama ilmu noetik adik sang korban penculikan. Mungkin diskusi antara iman-ilmu pengetahuan-misteri kuno lebih menarik dibanding thrillernya, meski menurut Laura Miller—kritikus sastra pendiri Salon.com—argumen dalam novel ini dianggap pseudosains. Sebagai thriller, cerita The Lost Symbol mudah ditebak, ancamannya kurang melahirkan ketegangan puncak. Dan Brown sengaja merancang kisah ini lewat gaya bercerita serba tahu, mengisahkan secara menyeluruh, dan membiarkan pembaca mengira-ngira terus apa logika kejadiannya masuk akal atau musykil. Sangat mengherankan betapa persaudaraan yang sesama anggotanya saling menjaga ini juga bisa disusupi oleh orang yang ingin menghancurkan dari dalam.
Lepas bahwa Dan Brown merupakan penulis populer dengan rekor penjualan gila-gilaan, namanya terabaikan dalam buku rujukan bacaan semacam 1001 Books You Must Read Before You Die (2008). Reputasinya di dunia kepenulisan, apalagi di hadapan para kritikus, memang buruk—ini diperparah oleh beberapa gugatan kasus pelanggaran hak cipta terhadap dirinya, meski semua dia menangi. Namun apa pun komentar kritik dan pendapat media terhadap karyanya, puluhan juta penggemar Dan Brown pastilah benar: mereka suka tenggelam ke dalam labirin konspirasi dan penuh imajinatif berusaha menguliti lapis demi lapis misteri. Di sisi pasar, kondisi, kontroversi, serta publisitas Dan Brown bakal memudahkan Bentang untuk bisa memenangi pertaruhan selera massa.[]
Anwar Holid bekerja sebagai penulis, editor, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. Dia suka kesulitan memahami misteri kehidupan.
********
Mengungkap Rahasia Freemason
Resensi ini dimuat di KORAN JAKARTA, Sabtu 13 Februari 2010
The Lost Symbol adalah novel kelima karya Dan Brown, dan novel ketiganya yang melibatkan karakter Robert Langdon, ahli simbol dari Universitas Harvard, setelah Angels & Demons dan The Da Vinci Code. Permulaan kisah dalam novel ini dimulai dengan Robert Langdon yang dipanggil ke Washington DC untuk mengisi ceramah, sembari menemui temannya Peter Solomon, tepatnya di gedung Capitol. Namun, ternyata undangan tersebut hanyalah kebohongan belaka.
Di gedung tersebut seseorang meletakkan simbol Tangan Misteri yang dibuat dari penggalan tangan Peter Solomon, sahabat dan mentor Langdon, sekaligus tokoh penting Persaudaraan Mason. Langdon ternyata akan diperalat. Langdon dihubungi oleh seseorang yang mengaku sedang menyandera Peter Solomon. Penyanderaan tersebut tak lain sebagai jaminan agar Langdon memecahkan teka-teki tentang “Ancient Mysteries” yang dimiliki organisasi Freemason. Penyandera Peter Solomon tersebut ternyata juga mengejar adik Peter Solomon, Katherine. Kode-kode kelompok rahasia Mason yang melindungi sebuah lokasi di Washington, DC. Lokasi penyimpanan kebijakan tertinggi umat manusia, yang konon akan membuat pemegangnya mampu mengubah dunia. Secara umum, alur novel ini masih sama seperti novel-novel sebelumnya, Th e Da Vinci Code dan Angels and Demons.
Petualangan semalam diburu waktu untuk menyelamatkan seseorang atau sesuatu dari sosok misterius yang tak diduga dan berhubungan dengan organisasi penuh rahasia dan interpretasi simbol. Dan tokoh perempuan yang menemani petualangan sang tokoh utama pria. Kali ini, organisasi yang hendak dibongkar misterinya adalah Freemasonry. Menurut Encyclopaedia Britannica, Freemason merupakan perhimpunan rahasia terbesar di dunia, berkembang dari loji-loji tukang batu pembangun katedral di Abad Pertengahan. Sebagian kecil loji itu mengembangkan ajaran kebatinan yang memungut ritus-ritus dan pernak-pernik ordo keagamaan kuno dan kelompok persaudaraan.
Loji Agung, persatuan beberapa loji, pertama berdiri di Inggris pada 1717, dan Freemason pun menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Robert Langdon berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan sahabatnya yang telah ditawan. Maka dimulailah petualangan semalam suntuk Robert Langdon di Washington. Selain itu, Direktur CIA menekan dia untuk segera mengungkap siapa penyandera tersebut dan segera memenuhi permintaan sang penculik karena penculikan Solomon adalah masalah keamanan nasional. Nahasnya, sebelum tengah malam, Langdon harus sudah berhasil memecahkan teka-teki kelompok Mason. Jika tidak, nyawa Peter akan melayang, dan rahasia yang konon akan mengguncang Amerika Serikat dan bahkan dunia bakal tersebar.
Pada saat Langdon mencari teka-teki itu, pembaca akan “diajak” melihat terowongan-terowongan bawah tanah Capitol, Perpustakaan Kongres, kuil-kuil Mason, dan Monumen Washington. Pembaca akan merasa berdebar-debar saat mengikuti penelusuran Robert Langdon. Buku The Lost Symbol ini dikisahkan secara menarik dan penuh kejutan-kejutan yang tak terpikirkan sebelumnya.[]
M. Iqbal Dawami, penikmat teh dan gogodoh
*****
Memang sudah nasib Om Langdon jika dia harus berkejaran lagi dengan waktu, memecahkan kode-kode dan simbol-simbol rahasia lintas generasi seperti yang pernah dialaminya saat di Vatikan. Hanya, kali ini dia tak perlu pergi jauh-jauh. Masih di negaranya sendiri, bahkan di pusat pemerintahan Sang Negara Adikuasa, Washington DC. Dan tak cukup tenggat waktu yang menjadi ‘partner sprintnya’, Langdon juga harus lincah berkelit dari belitan CIA yang mengawalnya sejak semula. Dan karena bukan dewa, dia tentu saja mendapat bantuan dari banyak pihak.
Yang setia menemani pencarian jawabannya akan symbol yang hilang itu adalah Katherine Solomon, adik sahabatnya Peter Solomon yang menariknya ke labirin gedung-gedung bersejarah di Washington dengan segala symbolnya. Ada juga beberapa anggota Mason yang seperti halnya Peter menduduki posisi strategis di bidangnya masing-masing.
Kekuatan Brown dalam buku ini, seperti buku-bukunya yang lain adalah detail setiap setting. Dia juga menjabarkan kebijaksanaan masa silam dari founding fathers Amerika, serta agama-agama dan kepercayaan yang pernah dan masih ada di dunia dari dulu hingga sekarang dalam satu paket. Apotheosis sendiri yang menggerakkan si tokoh antagonis dan merupakan pesan tersembunyi dari setiap agama dan kepercayaan yang ada di dunia sedikit banyak mengingatkanku akan falsafah manunggaling kawula-Gusti.
Terdiri dari bab-bab yang tak terlalu panjang, buku ini sangat mengasyikkan dan ‘memaksa’ untuk dilahap habis segera. Terjemahan dan editing yang rapi juga menambah kenyamanan membaca. Yang tak kalah menarik, adalah Pengantar Penerbit. Ada dua point yang saya garis bawahi di sana. Pertama, penerbit merasa perlu menceritakan sedikit kontroversi tentang perkumpulan persaudaraan Freemasonry yang menjadi ‘sasaran tembak’ Brown kali ini yang oleh umat muslim dianggap bersahabat erat dengan gerakan zionisme. Catatan kedua yang mau tak mau melebarkan senyum di wajah saya adalah pengakuan mereka bahwa The Lost Symbol ini memecahkan rekor nilai kontrak yang pernah mereka buat.
Tak hanya diajak Langdon memecahkan teka-teki dengan symbol, pembaca pun disuguhi dua kejutan manis di akhir cerita. Kejutan pertama, mestinya sudah bisa tertebak dengan clue-clue yang disebar Brown. Sedangkan kejutan kedua, yang merupakan jawaban dari keseluruhan cerita dan pesan moral bisa dibilang seperti bonus setelah klimaks melandai. Secara pribadi, aku justru tak mengharapkan dan mencari jawaban ini. Bahwa semua terhenti setelah konfrontasi itu, rasanya lebih enak dicerna. Tapi, jika difilmkan, pasti akan terasa mengagumkan berada di ketinggian bersama Langdon dan Katherine.
Menutup (nyaris seperti) resensi ini adalah kata-kata dari Pak Albert Einstein yang dikutip oleh kepala katedral Dean Galloway saat Langdon masih belum bisa menyelaraskan akal dan hatinya. Katanya, “Sesuatu yang tidak mampu kita pahami benar-benar ada. Di balik rahasia-rahasia alam, masih terdapat sesuatu yang subtil, tak teraba, dan tak terjelaskan. Penghormatan terhadap kekuatan melebihi segala yang bisa kita pahami ini adalah agamaku.” Halaman 436.
dikutip dari blog indarwati indarpati
http://lembarkertas.multiply.com/reviews/item/23
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63
Posting Komentar
thanks for apresiasi