Sok artis...

Sekarang mari kta berpikir sejenak, bahwa kita hidup kurang lebih dari kurun waktu 1 abad. Kenapa, mereka yang sudah merasa punya pandangan istimewa di mata pengikutnya, mengganggap dirinya artis? Sok artis… orang sekarang bilang. Kata-kata kini tak lagi menjelma dalam sebuah permainan yang jauh dari sifat monopoly batin dan jasad, sekarang hanya sebuah kertas kartal, dan giro yang berbicara. Ketika mulut bisa di sumpal oleh uang, nyali di balut hina oleh sebuah instruksi ucapan kartal yang berbicara. Hati pun tak bisa berungkap. Bahkan titik nadzir pun hanya terpaku menatap sebuah ilusi permainan
Sekarang sebuah arti dari rasa solidaritas yang biasa mereka bilang, sudah tak lagi menjadi sosok yang menjamin dalam bentuk basil yang tak berupa dalam hal yang mengindahkan apapun. Semua sekarang di gantikan dengan adanya sebuah system UANG KARTAL, yang di gantikan oleh sebuah keteneran. Bukan tenar yang seharusnya kita cari, bukan tampilan fisik yang kita pikirkan, tapi arti sebuah arti yang seharusnya kita artikan dalam sebuah sudut kemungkinan yang memiliki 666 arti
Apakah kita harus membatu diam? Lawan, semua sikap tersebut sekarang bukan waktunya rasisme yang berkuasa karena kita hidup dalam dunia kita, bukan kita hidup dalam dunia mereka. Yang seharusnya kita hidup enak, justru mereka ganti dengan uang yang hasilnya dalah kepopuleran yang jauh dari mata kenikmatan hawa nafsu.
Jujur daripada saya harus merasa saya bangga menjadi sebuah sosok terkenal karena sebuah sikap indah yang saya lakukan. Lebih saya mati karena rendahnya harga diri saya.
Bukan akhir dari segalanya jika salah satu dari mereka sudah merasa jadi artis tapi yang pasti sekarang bukan lagi uang yang berbicara tapi harus kita ganti dengan tegaknya keyakinan bahwa kita bukan manusia rendahan.
Populasi dari bioma konstruksi pasar bebas kini tak lagi berarti karena kita bukan lagi kepatuhan yang harus di injak-injak. Karya yang kita buat bukan untuk mereka hasilkan kembali dengan komentar bahasa tirani, yang bisa membakar langit, membelah neraka, membakar surga. Tapi untuk kita nikmati sendiri secara bersama-sama.
Kenapa? Karena kita tidak pernah salah dalam mengambil sebuah keputusa dalam penampakan ala aspal 72 derajat sebelum malam sudah habis ditelan teknologi fakir magician, yang begitu tampak dalam sebuah ketampakan.
Sekarang bukan masa pasca colonial yang masih dewa menjadi tuhan tapi saatnya jasad dan batin kita berkuasa, bukan saatnya sifat SOK ARTIS yang kita tunjukan,bukan IDEALISME yang kita tunjukan, tapi jadikan sebuah sifat horizontal dan vertikalisme dari sebuah bilangan aligato yang menjadi sosok penampakan rima yang memegang tapi KITA.

0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
:46 :47 :48 :49
:50 :51 :52 :53
:54 :55 :56 :57
:58 :59 :60 :61
:62 :63

Posting Komentar

thanks for apresiasi